Rabu, 15 Juni 2011

PEMETIK AIR MATA

PEMETIK AIR MATA, sebuah cerpen dari Agus Noor yang terinspirasi cerpen Pelajaran Mengarang
Mereka hanya muncul malam hari. Peri-peri pemetik air mata. Selalu datang berombongan— kadang lebih dari dua puluh—seperti arak-arakan capung, menjinjing cawan mungil keemasan, yang melekuk dan mengulin di bagian ujungnya. Ke dalam cawan mungil itulah mereka tampung air mata yang mereka petik. Cawan itu tak lebih besar dari biji kenari, tapi bisa untuk menampung seluruh air mata kesedihan di dunia ini. Saat ada yang menangis malam-malam, peri-peri itu akan berkitaran mendekati, menunggu air mata itu menggelantung di pelupuk, kemudian pelan-pelan memetiknya. Bila sebulir air mata bergulir jatuh, mereka akan buru-buru menadahkan cawan itu. Begitu tersentuh jari-jari mereka yang ajaib, setiap butir air mata akan menjelma kristal.
Mereka tinggal di ceruk gua-gua purba. Ke sanalah butir-butir air mata yang dipetik itu dibawa. Di selisir ulir batu alir, di antara galur batu kapur berselubung tirai marmer bening yang licin dan basah, di jejulur akar-akar kalsit yang bercecabang di langit-langit stalagtit, peri-peri itu membangun sarang. Butir-butir air mata itu ditata menjadi sarang mereka, serupa istana-istana kecil yang saling terhubung jembatan gantung yang juga terbuat dari untaian air mata. Di langit-langit gua itu pula butir-butir air mata itu dironce terjuntai menyerupai jutaan lampu kristal yang berkilauan.
Seorang pencuri sarang walet menemukan tempat peri-peri pemetik air mata itu tak sengaja. Setelah berhari-hari menyelusup celah gua, ia merasakan kelembaban udara yang tak biasa, hawa yang membuat kuduknya meriap, dan menyadari dirinya telah tersesat dan tak akan lagi melihat dunia karena setiap kali bersikeras mencari jalan keluar ia justru merasa semakin mendekati kematian. Kesepian gua itu begitu hitam dan mengerikan. Bahkan kelelawar, ular dan lintah pun seperti memilih menjahuinya. Sayup jeritan dan gema kelepak ribuan walet seperti berada di dunia yang berbeda. Semua suara seperti lesap—bahkan ia tak mendengar suara napasnya sendiri—dan ia merasakan betapa udara tipis dan bau memualkan yang bukan berasal dari tumpukan kotoran kelelawar atau lumpur belerang membuatnya limbung dan perlahan-lahan seperti mulai mengapung.
Saat kesadarannya seperti terisap, lamat-lamat didengarnya tangisan yang begitu gaib, menggema dari palung gua. Sampai kemudian ia menyadari betapa tangisan itu berasal dari butir-butir kristal bening yang menempel dan bergelantungan nyaris memenuhi seluruh langit-langit stalagtit di mana ribuan peri mungil tampak beterbangan lalu lalang. Pada saat-saat tertentu butir-butir kristal air mata itu memang memperdengarkan kembali kesedihan yang masih tersimpan di dalamnya. Tak ada yang bisa menghapus kesedihan bukan, bahkan ketika kesedihan itu telah menjelma kristal? Di lambung gua itu bergaung jutaan tangisan yang terdengar bagaikan simfoni kesedihan yang agung.
Ketika akhirnya lelaki pencuri sarang walet itu meninggalkan jazirah peri dan menemukan jalan pulang, ia membawa sekarung kristal air mata yang kemudian dijualnya eceran. Kristal-kristal air mata itulah yang kini banyak dijajakan di pinggiran dan perempatan jalan.
***
Sandra tak percaya cerita itu. Meski ia sering melihat para pengasong menjajakan kristal air mata itu. Sering mereka mengetuk-ngetuk kaca mobilnya, setengah memaksa.
”Air mata, Bu? Murah… Seribu tiga, Bu… Seribu tiga…”
Dulu, semasa kanak, setiap kali melihat Mamanya diam-diam menangis, Sandra selalu berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Mamanya memang sering menangis terisak malam-malam. Ia pun selalu menangis bila melihat Mamanya menangis. Tapi Sandra berusaha menahan tangisnya karena Mamanya pasti akan langsung membentak bila tahu ia menangis. ”Jangan cengeng anak setan!” Kadang teriakan itu disertai lembaran kaleng bir yang segera bergemerontangan di lantai yang penuh puntung dan debu rokok. Rumahnya memang selalu berantakan. Selalu ada pakaian dalam Mamanya yang berceceran begitu saja di lantai. Tumpahan bir di meja, bercak-bercak sisa muntahan di pojokan, botol-botol minuman yang menggelinding ke mana-mana. Kasur yang selalu melorot seprainya. Bantal- bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus- menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
Suara Mama memang nyaris selalu membentak. Pernah sekali Sastra bertanya soal Papanya, tetapi ia langsung disemprot mulutnya yang berbau alkohol, ”Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!” Meski begitu Sandra tahu kalau sesungguhnya perempuan itu menyayanginya. Bila pulang setelah pergi berhari-hari—Mamanya memang selalu pergi berhari-hari keluar kota atau entah ke mana, kadang mendadak pergi terburu-buru begitu saja malam-malam setelah menerima pager—selalu ada oleh-oleh menyenangkan untuk Sandra. Sering boneka. Tapi Sandra lebih senang bila ia dioleh-olehi buku cerita.
Sering, bila hari Minggu, Mamanya juga mengajaknya jalan-jalan. Membelikannya baju, mengajak makan kentang goreng atau ayam goreng. Saat Sandra menikmati es krim, perempuan itu tampak selalu menatap dengan mata penuh cinta. Tanpa sadar ia akan bergumam, ”Sandra, Sandra….” Sambil membersihkan mulut Sandra yang belepotan.
Tapi saat-saat paling menyenangkan bagi Sandra adalah saat perempuan itu membacakannya cerita dari buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Kadang tanpa sadar di tengah-tengah cerita yang dibacakannya, air mata Mamanya menetes.
”Kenapa Mama menangis?”
”Tidak, Sandra… Mama tidak menangis.”
”Kenapa manusia bisa menangis, Mama?”
”Karena manusia diciptakan dari kesedihan.”
”Kenapa mesti ada kesedihan, Mama?”
”Diamlah. Jangan cerewet. Atau Mama hentikan bacanya!”
Lalu Mama kembali membacakan cerita tentang peri-peri pemetik air mata.
Pada mulanya adalah sebutir air mata. Saat itu Tuhan begitu sedih dan kesepian, hingga meneteskan sebutir air mata. Dari sebutir air mata sejernih putih telur itulah tercipta semesta, hamparan kabut, langit lakmus yang belum dihuni bintang-bintang, makhluk-makhluk gaib, pepohonan dan sungai-sungai madu. Kemudian, pada hari ke tujuh, barulah terbit cahaya. Dari sebutir air mata itu pula muncul sepasang manusia pertama. Karena tahu manusia akan mengenal kesedihan, maka sebelum menciptakan maut, Tuhan menciptakan lebih dulu peri-peri pemetik buah kesedihan. Saat itu memang ada tumbuh Pohon Kesedihan, yang buah-buah bening segarnya selalu bercucuran dari ranting-rantingnya. Setiap kali datang musim semi, peri-peri itulah yang selalu memetiki buah-buah kesedihan yang telah ranum, yang membuat manusia tergoda menikmatinya.
Saat manusia sedih karena harus pergi dari surga, peri-peri pemetik air mata turun menyertai. Maka, sejak saat itu, bila ada manusia menangis malam-malam, peri-peri itu akan muncul dan memetik air matanya yang bercucuran.
Setiap kali mendapati Mamanya menangis, Sandra pun berharap peri-peri pemetik air mata itu muncul. Ia tahu peri-peri itu bisa menghapus kesedihan dari mata Mamanya. Tapi Sandra tak pernah melihat peri itu muncul, dan Mamanya terus terisak menahan tangis, sembari kadang-kadang memeluk dan dengan lembut menciumi Sandra yang pura-pura tertidur pulas. Setiap malam Sandra memang selalu pura-pura bisa tertidur lelap, terutama bila ada laki-laki entah siapa datang ke rumahnya. Sandra tak pernah lupa ketika suatu malam Mamanya pelan-pelan memindahkannya ke kolong ranjang dan mengira ia sudah tertidur, padahal ia bisa mendengar suara lenguh Mamanya dan laki-laki itu di atas ranjang. Juga suara dengus sebal Mamanya ketika akhirnya laki-laki itu mendengkur keras sekali. Di kolong ranjang Sandra terisak pelan, ”Mama… Mama….” Pipinya basah air mata.
Bahkan saat itu peri-peri pemetik air mata yang diharapkannya tak pernah muncul. Itulah sebabnya ia tak percaya.
***
Tapi Bita, anak semata wayangnya, punya beberapa butir kristal air mata itu. Dia membelinya dari seorang pedagang mainan di sekolahnya. Cerita tentang pencuri sarang walet yang menemukan koloni peri itu pun didengarnya dari Bita. Kata anaknya yang berumur 10 tahun itu, cerita itu dia dengar langsung dari penjual kristal air mata itu.
”Itu bohong, sayang…”
”Kenapa penjual itu mesti bohong, Mama? Ini memang air mata beneran, kok. Cobalah Mama dengerin, kadang-kadang ia mengeluarkan tangisan.” Lalu Bita berceloteh riang, kalau kawan-kawan sekolahnya juga banyak yang membeli butir-butir kristal air mata itu untuk dikoleksi. ”Semua anak laki-laki di sekolah sekarang enggak suka lagi adu jangkrik. Saat istirahat, mereka lebih suka mengadu kristal-kristal air mata miliknya. Kristal air mata yang mengeluarkan tangisan paling panjang dan paling menyedihkan yang menang.”
Bita menyimpan koleksi kristal air matanya di kotak kecil, dan selalu menaruhnya di sisi bantal tidurnya. Kadang Bita terbangun ketika didengarnya kristal-kristal air mata itu mengeluarkan tangisan. ”Bita senang mendengar tangisan mereka yang merdu, Mama,” katanya. ”Apa Mama juga suka menangis kalau malam?”
Tidak, tidak—tapi Sandra tak mengucapkannya.
”Apakah kalau Bita menangis, peri-peri itu juga akan muncul, Mama?”
Sandra mencoba tersenyum.
”“Sekarang tidurlah,” Sandra berusaha menghentikan percakapan, kemudian dengan lembut menyelimuti dan mencium keningnya. Baru saja beranjak hendak keluar kamar, terdengar suara Bita,
”Apa besok Papa jadi ngajak Bita jalan-jalan?”
Sandra tersenyum. ”Nanti Mama tanyakan Papamu, ya. Kamu kan tahu, Papamu sibuk.…”
Lalu mematikan lampu.
***
Suaminya tengah berbaring di ranjang ketika Sandra masuk. Senyumnya masih tetap memikat seperti saat pertama kali Sandra melihatnya, ketika suatu malam ia menyanyi di sebuah kafe. Senyum yang membuatnya jatuh cinta. Ia bukannya tak berdaya oleh senyum itu. Namun senyum itu sejak mula memang telah membuatnya percaya, bahwa ia akan menemukan hidup yang lebih baik. Sandra memang tak ingin nasibnya berakhir celaka seperti Mamanya: digeroti penyakit kelamin saat tua dan ditemukan mati tergorok di losmen murahan.
Tidak. Tidak. Sandra tidak ingin seperti Mamanya. Bahkan Sandra tahu kalau Mamanya tak pernah menginginkan ia menjadi seperti Mamanya. Sandra selalu ingat, dulu, di saat-saat Mamanya begitu tampak mencintainya, perempuan itu selalu mendekapnya erat-erat sembari sesekali berbisik terisak, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi wanita baik-baik, Sandra.”
”Seperti Mama?”
”Tidak. Kamu jangan seperti Mama, Sandra. Jangan seperti Mama….”
Sandra merasa hidupnya jauh lebih beruntung dari hidup Mamanya karena punya suami yang mencukupi hidupnya. Bagaimana pun suaminya memang laki-laki penuh perhatian yang pernah dikenalnya. Setidaknya dibanding puluhan laki-laki yang hanya iseng terhadapnya.
Berbaring di ranjang, hanya dengan selimut di bawah pinggang, suaminya terlihat segar. Hmm, pasti habis mandi air hangat, batin Sandra. Itu berarti laki-laki itu memang menginginkannya malam ini. Sandra segera meredupkan lampu, membuka gaunnya, dan bersijengkat naik ke ranjang. Bau harum tubuh laki-laki itu merangsanya untuk menciuminya. Ia hafal dengan denyut otot laki-laki itu yang perlahan meregang. Sandra ingin selalu membuat laki-laki itu betah bersamanya.
”Kamu menyenangkan sekali malam ini,” desah laki-laki itu tersengal, setelah lenguh panjang dan berbaring lemas memeluk Sandra.
”Makanya kamu nginep saja malam ini. Biar besok sekalian ngajak Bita jalan-jalan.”
Ketika laki-laki itu hanya diam, Sandra tahu kalau ia telah meminta yang tak mungkin laki-laki itu penuhi. Selama ini mereka memang sepakat, Sandralah yang akan mengurus Bita. Mengantar jemput ke sekolah. Menemani jalan-jalan atau pergi makan. Dan Sandra selalu mengatakan ”Papamu sibuk…” setiap kali Bita bertanya kenapa Papa enggak pernah ikut?
Sandra tahu malam ini laki-laki itu pun harus pergi. Sandra sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan yang cuma sebentar seperti ini. Tapi ketika selepas jam 2 dini hari Sandra mendengar derum mobil laki-laki itu keluar rumahnya, ia benar-benar tak kuasa menahan air matanya. Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu pura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Sandra ingin semua ini akan berjalan baik seterusnya. Ia berusaha serapi mungkin menyembunyikan. Ia tak ingin Bita sedih. Ia ingin Bita menikmati masa-masa sekolahnya dengan nyaman dan tak cemas menghadapi pelajaran mengarang. Sandra kembali merasakan saat-saat paling sedih masa kanak-kanaknya, saat ia tahu kalau ibunya pelacur. Sungguh, ia tak ingin Bita tahu, kalau ibunya hanya istri simpanan.
Sandra merasa bantalnya basah. Ia berharap, sungguh-sungguh berharap, para peri pemetik air mata itu muncul malam ini.
Yogyakarta, 2009

PELAJARAN MENGARANG

Karya: Seno Gumira Ajidarma
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”. Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”
Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.
“Mama kerja apa, sih?”
Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.
Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”
Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”
“Seperti Mama?”
“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”
Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …
Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.

DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00

Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.
***
Empat puluh menit lewat sudah.
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.
Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.
Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.
“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.
Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.
Ia juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.
“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.
Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:
Ibuku seorang pelacur…

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
karena setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samudra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Karena sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah karena bersandiwara.
Bukan karna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi karna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kamu kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
________________________________________
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972

Penjaga Malam dan Tiang Listrik

Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Ia selalu menjaga malam, agar malam tetap menjadi malam seperti yang
paling dimungkinkan oleh malam. Ia menjaga malam, agar bulan tetap
menjadi rembulan seperti yang dipandang manusia dari bumi setiap
malam. Ia menjaga malam, agar tikus tetap menjadi tikus yang keluar
dari got, merayap di tengah pasar, mencari makanan dalam kegelapan.
Itulah tugas sang penjaga malam, betul-betul menjaga malam yang kelam
agar tetap menghitam, sehingga bayang-bayang bisa berkeliaran tanpa
pernah kelihatan, mengendap-endap tanpa suara dalam penyamaran.

Malam memang selalau samar dan ia harus tetap menjaganya agar tetap
samar-samar. Segala seuatu serba samar-samar di malam hari, seperti
kita melihat pencuri, tapi tidak pernah tahu bahwa bagaimana ia
mencuri. Adalah menjadi tugasnya agar sepanjang malam yang kelam para
pencuri tetap bisa bergerak bebas dalam kegelapan, berkelebat
menghindari cahaya bulan, menyelinap ke balik pohon-pohon hitam,
merayap di tembok seperti cecak, membongkar jendela, dan memasuki
ruangan. Malam tanpa pencurian bukanlah malam. Malam tanpa
pengkhianatan bukanlah malam. Tugasnya adalah menjaga agar malam
tetap menjadi kegelapan yang menguji kesetiaan.

Beberapa Saat menjelang tengah malam, dalam kegelapan dan embun
malam, ia akan keluar dari gardu, melangkah dari rumah ke rumah untuk
mengetahui apakah semuanya berjalan seperti malam. Dari sebuah
jendela ia akan mendengar blues, dari jendela lain ia akan mendengar
tangisan, dan dari jendela lain lagi akan didengarnya lenguhan
tertahan-tahan dalam permainan cinta yang menggetarkan. Ia akan
berjalan perlahan-lahan sepanjang kompleks perumahan yang sepi,
memperhatikan bagaimana cahaya bulan menyepuh aspal jalanan,
mendekati tiang listrik.

Akan diusapnya tiang listrik itu, dan mipukulnya tiang listrik itu
dengan batu, sampai dua belas kali.

Tentu saja ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: apakah yang
membuatnya begitu perlu untuk memukul tiang listrik itu sampai dua
belas kali? Apakah memang para penghuni kompleks itu meras begitu
perlunya untuk mengetahui waktu pada tengah malam? Jika mereka ingin
mengetahui waktu, apakah mereka sendiri tidak punya arloji di dekat
tempat tidur, wekerm atau jam dinding dengan burung di dalamnya yang
akan keluar dan berkukuk dua belas kali saat tengah malam? Apakah
memang menjadi tugas seoarng penjaga malam untuk memukul tiang
listrik dari jam ke jam? Tidakkah semestinya ia menjaga ketenangan
agar tidak seorang penghuni pun terbangun selewat tengah malam hanya
karena mendengar tiang listrik dipukul orang? Itulah pertanyaannya:
mengapa seorang penjaga malam harus memukul tiang listrik setiap jam?
Penjaga malam itu selalu memukul tiang listrik dengan batu dari jam
ke jam. Setiap kali ia memukul rtiang listrik dengan batu, selalu ada
saja penghuni kompleks perumahan itu terbangun, meski tidak bertanya-
tanya lagi apa memang ada orang yang begitu perlunya mendengar tiang
listrik dipukul seorang penjaga malam untuk mengetahui jam.

Sejam telah berlalu. Tiba saatnya penjaga malam itu harus memukul
tiang listrik sebanyak satu kali saja. Ia keluar dari gardunya,
melangkah ke tiang listrik terdekat. Namun seorang lelaki yang tidak
dikenalnya berdiri di dekat tiang listrik itu.

“Maaf, saya mau memukul tiang listrik itu,” katanya.

Lelaki itu tidak beranjak.

“Aku ada di sini memang untuk menghalangimu, wahai penjaga malam.”

Lelaki itu tersenyum-senyum mendekapkan tangan. Ia bersandar di tiang
listrik sambil memperhatikan sikp penjaga malam.

Adapun penjaga malam itu hanya memikirkan waktu. Ia harus memukul
tiang listrik satu kali tepat pada pukul 01:00. Jika terlambat, ia
tidak tahu caranya memukul tiang listrik untuk mengabarkan waktu
telah tiba pada pukul 01:01. Ia juga tidak pernah dan tidak akan
pernah bisa melompatinya sampai pukul 02:00 saja. Tidak mungkin.
Tidak akan pernah mungkin. Kecuali dunia kiamat – tapi sekarang kan
belum?

Waktunya tidak banyak. Ia berlari ke tiang listrik yang lain, tapi
tiba-tiba saja lelaki itu sudah berada di tiang listrik juga, memang
dengan sengaja menghalanginya.

Penjaga malam itu merasa sangat gelisah. Ia berlari lagi ke tiang
listrik lain. Ternyata lelaki itu pun sudah ada di sana. Wajahnya
tersembunyi di balik topi lebar, mendekapkan tangan tenang-tenang,
tersenyum-senyum melihat kegelisahan penjaga malam itu masih bisa
melihat senyum dikulum pada mulutnya yang mengejek.

Waktunya tinggal sedikit.

“Minggirlah,” katanya, “aku harus memukul tiang listrik itu satu
kali.”

Lelaki itu tidak minggir, dari mulutnya masih terlihat senyuman, yang
bukan hanya mengejek, tapi juga menghina.


Penjaga malam itu mengambil pisau belati yang selalu tergantung di
pinggangnya. Senjata tajam itu sudah berkarat, maka tidak ada yang
berkilat di bawah cahaya bulan.

“Minggirlah, aku tidak punya waktu lagi,” katanya.

Lelaki itu tidak beranjak.

“Aku di sini untuk menghalangimu,” katanya. “Lakukanlah apa yang
harus kamu lakukan.”

Penjaga malam itu menggerakkan pisaunya.

Kemudian, seorang perempuan yang tidak bisa tidur karena patah hati,
mendengar tiang listrik dipukul batu sebanyak satu kali. Suaranya
bergema di tengah malam yang sunyi. Tepat pada waktunya.***
Pondok Aren, Jumat 15 November 2002

Koran Tempo, Minggu 16 Februari 2003.

Kyoto Monogatari (SGA)

TERBUAT dari apakah kenangan?
Aku tidak pernah bisa mengerti, mengapa pemandangan itu selalu kembali dan kembali lagi: suatu pemandangan yang kudapatkan ketika kereta api shinkansen itu tiba-tiba menembus daerah salju dan kulihat seorang perempuan berjalan di luar rumah sendirian dalam badai. Apakah yang dikerjakan seorang perempuan dalam badai yang menggebu seperti itu? Tidak banyak rumah di dataran salju yang kulihat itu, dan hanya perempuan itu yang tampak dalam keluasan serba putih dan memutih sampai di batas cakrawala. Udara penuh dengan salju yang beterbangan karena tiupan badai sehingga perempuan yang berjalan dengan lambat itu tampak menapak dengan begitu berat. Apakah yang dilakukannya dalam badai bersalju seperti itu? Aku tidak bisa memperkirakan apapun dan aku harus menerima kenyataan betapa aku tidak akan pernah tahu.
Pemandangan itu bagiku memilukan, bukan hanya karena merasakan kembali dingin yang merasuk dan membekukan, tapi karena gagasan akan kesendirian dalam keluasan padang memutih itu. Berja-lan sendirian di tengah padang salju dalam badai yang dingin dengan suaranya yang menggiriskan tidaklah terlalu menyenangkan. Dari balik jendela kereta api suara itu sudah teredam, tapi aku pernah mengalami badai bersalju dengan suaranya yang menggiriskan di Mongolia, sehingga aku tahu pasti ada sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi sampai perempuan itu harus berjalan susah payah dengan sepatu yang setiap kali harus diangkat tinggi karena melesak ke dalam tumpukan salju dalam badai yang kencang dan begitu dingin seperti itu.
Semuanya sudah kulupakan, termasuk jurusan kereta api itu: menuju Kyoto dari Tokyo, ataukah menuju Osaka dari Kyoto, aku tidak bisa ingat lagi-tinggal kenangan akan seorang perempuan yang melangkah dengan berat dalam badai dan hujan salju.
Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.
Tapi aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.
TERBUAT dari apakah kenangan? Dari saat ke saat aku masih bertanya-tanya, apakah kiranya yang dilakukan perempuan yang kulihat berjalan sendirian di padang salju itu? Waktu kereta api lewat dan aku menengok dari balik jendela, tampak ia baru saja keluar rumah. Jejak-jejaknya terlihat menapak dari sebuah pintu. Masih selalu mengganggu ingatanku dari waktu ke waktu, apakah ada seseorang yang ditinggalkan di dalam rumah itu, atau memang kosong saja di dalamnya sehingga barangkali ia pergi begitu saja tanpa mengunci pintu? Tentu saja aku tidak melihat perempuan itu keluar dari rumahnya, sehingga aku juga tidak tahu apakah ia mengunci atau tidak mengunci pintu itu sama sekali. Kereta api itu lewat begitu cepat, seperti angan-angan melintas, tapi pemandangan yang kulihat kemudian seperti tidak akan pernah pergi lagi untuk selama-lamanya.
Mengherankan bahwa kenangan seringkali terpendam begitu lama dan muncul begitu saja tanpa ada sebab yang harus menghubungkannya. Aku masih selalu penasaran dan bertanya-tanya, mengapa suatu kenangan bisa terpendam begitu lama sampai muncul tiba-tiba pada waktu dan tempat yang tiada pernah akan terduga. Kenangan itu kadang-kadang bisa muncul kembali sekali saja dalam seumur hidup, terkenang sekali lantas tiada pernah datang kembali. Bagaimanakah caranya suatu peristiwa berubah menjadi kenangan, tapi yang terpendam begitu lama sampai suatu ketika mengingatkan dirinya pernah terjadi, sekali, lantas tak pernah muncul lagi? Bukankah ajaib untuk membayangkan bagaimana caranya kenangan tersimpan dan muncul kembali atau sama sekali tidak pernah muncul kembali meskipun tetap ada entah di mana di sebuah dunia yang tiada akan pernah kita ketahui seperti apa?
Ada kalanya suatu peristiwa juga ingin kita lupakan karena kepahitan yang menyertainya. Selalu ada peristiwa dalam hidup ini yang ingin kita hapus saja dari kenangan, seperti tidak pernah terjadi, meski tetap saja teringat sampai mati – rupanya selalu ada alasan untuk mengenangkan kembali semua peristiwa yang sungguh mati ingin kita lupakan saja sampai habis tanpa sisa.
Hmm.
Terbuat dari apakah kenangan? Bagaimanakah caranya melepaskan diri dari kenangan, dari masa lalu yang tiada pernah sudi melepaskan cengkeraman kepahitannya pada masa kini?
Kenangan barangkali saja tidak selalu utuh: sepotong jalan, daun berguguran, ombak menghempas, senyuman yang manis, langit yang merah dengan mega-mega berarak dalam cahaya keemasan; tapi bisa juga begitu utuh ketika menikam langsung ke dalam hati seperti sembilu. Tidak mungkinkah kenangan yang pahit kembali sebagai sesuatu yang manis? Kenangan seperti diciptakan kembali oleh waktu, membuat masa lalu tak pernah berlalu, bahkan mempunyai masa depan untuk menjadi bermakna baru.
Mungkinkah kenangan itu seperti suatu dunia, tempat kita bisa selalu mengembara di dalamnya?
Aku mempunyai kenangan yang lain di Kyoto, yang selalu menjadi nyata karena sebuah genta. Kenanganku adalah bunyi genta itu, genta kecil yang manis dan selalu berdenting oleh angin yang berhembus pelahan, yang bisa kubawa pulang dan mengingatkan kembali segalanya. Angin itu harus berhembus dengan kepelahanan yang sama dengan ketika aku pertama kali mendengarnya, dan dengan demikian bunyi genta itu mengembalikan suatu masa yang telah berlalu. Bagaimanakah suatu masa yang telah berlalu bisa kembali lagi dan mengembalikan perasaan dan suasana yang sama seperti ketika aku mengalaminya, aku sama sekali tidak pernah bisa mengerti.
Kenanganku tentang pemandangan di luar jendela kereta api shinkansen itu selalu kembali bukan karena bunyi denting genta kecil itu. Kenangan itu selalu kembali seolah-olah tanpa penyebab apapun, atau setidaknya aku tidak pernah tahu pasti apa yang selalu mengembalikan kenangan itu kepadaku. Apakah karena aku berta-nya-tanya apa yang terjadi di dalam rumahnya? Apakah ada seorang anak yang tergeletak dan sakit parah di sana, sehingga perempuan itu harus keluar rumah mencari obat dalam badai seperti itu? Perempuan itu menapaki salju dengan langkah yang berat, dan tetap akan berat meski sepanjang hidupnya ia tinggal di sana sehingga tentunya juga terbiasa dengan alam dan iklim seperti itu. Langkahnya berat dan udara begitu dingin, apakah kiranya yang begitu mendesak?
Kereta api itu memasuki daerah salju dengan begitu tiba-tiba seperti pesawat antariksa menembus batas luar angkasa. Dalam kenanganku seperti terjadi sebuah ledakan, dan hanya daerah salju itu saja yang menjadi kenanganku seterusnya. Bukan di luar daerah itu, bukan pula ketika di dalam kereta api itu. Dalam kenangan itu aku tidak pernah melihat diriku sendiri sedang memandang dari balik jendela.
Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.
Tapi aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.
TERBUAT dari apakah kenangan? Aku tidak ingin mengingat sesuatu, tapi ada suatu kenangan yang selalu kembali. Aku ingin sekali mengingat-ingat sesuatu, tapi barangkali aku akan lupa untuk selama-lamanya. Aku juga selalu teringat sesuatu yang tidak pernah kuceritakan kembali, tidak pernah kukatakan, tidak pernah kuapa-apakan, karena kenangan itu memang hanya bertengger saja dalam kepala.
Tapi mungkin saja peristiwa ini terjadi.
Perempuan itu berjalan di dataran salju meninggalkan jejak yang panjang. Tidak ada seorangpun yang tahu ke mana perempuan itu pergi. Di dalam rumah seorang lelaki menunggu perempuan itu kembali. Dunia memutih dan kelabu, lampu-lampu menyala menjelang gelap.
Lelaki di dalam rumah itu menunggu dalam gelap, bertanya-tanya tentang kenapa perempuan itu pergi begitu lama dan tidak juga kembali.
Kemudian ia juga ke luar, mencari ke mana kiranya perempuan itu pergi.
Ia mengikuti jejaknya. Ia mengikuti jejaknya sepanjang jalan, sepanjang padang, sepanjang kepahitan yang meruyak di dalam hatinya.
“Kamu mau ke mana?”
“Tidak ke mana-mana.”
“Cuaca seperti ini dan kamu keluar dan kamu bilang tidak ke mana-mana.”
“Aku memang tidak ke mana-mana.”
Ia mengikutinya, dan ia tidak tahu perempuan itu pergi ke mana. Mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat, mungkinkah jejak ini mencapai suatu tempat yang tidak pernah ingin diketahuinya?
Kalau kereta api itu lewat sedetik lebih cepat atau sedetik lebih lambat, tentunya aku akan melihat pemandangan yang berbeda, dan kenanganku akan menjadi lain. Aku akan selalu teringat sesuatu yang lain, tapi yang tidak mungkin kuketahui dengan pasti kiranya seperti apa.
Mungkin sebelumnya ada lelaki lain di luar rumah, dan perempuan itu melihat lewat jendela.
Mungkin itu beberapa menit sebelumnya, bukan hanya sedetik sebelumnya.
Bagaimana kalau kereta api itu lewat beberapa menit lebih lambat?
Barangkali akan kulihat seorang lelaki berjalan di tengah padang salju, mengikuti bekas jejaknya kembali, berjalan lambat menuju rumah itu.
Dari kejauhan, dari dalam kereta api yang meluncur begitu cepat, pasti tidak akan kulihat pisau berdarah yang masih digenggamnya.
Masih ada kepahitan di wajah lelaki yang muram itu.
Peristiwa ini tentu tidak pernah terjadi. Kereta api melewati tempat itu beberapa menit sebelum atau sesudahnya tidak akan mengubah apa-apa. Tidak ada satu kemungkinan yang memberi peluang kepada pengetahuan yang utuh.
Sebetulnya aku selalu membayangkan seandainya kereta api itu lewat ketika perempuan itu sudah menjadi mayat dan terkapar di depan rumahnya. Aku selalu membayangkan ada bekas-bekas darah di atas salju. Barangkali lebih baik mayat itu tidak ada, dan hanya ada bekas da-rahnya. Ada bekas seretan yang panjang dan berdarah.
Tapi sebetulnya aku hanya melihat seorang perempuan melangkah keluar dari rumahnya dalam hujan dan badai salju-aku bahkan tak tahu itu memang rumahnya atau bukan, dan aku tidak melihatnya membuka pintu, menutupnya kembali, dan melang-kah ke padang salju. Aku hanya melihatnya sedang berjalan dengan susah payah sehingga terbentuk jejak dari sebuah rumah ke tempatnya sedang melangkah.
Tapi mungkinkah bisa dipastikan peristiwa itu tidak pernah terjadi? Apakah ada sesuatu di dunia ini yang bisa kita ketahui dari segala kemungkinan, serentak, dan seutuh-utuhnya?
Di kereta api shinkansen yang meluncur dengan kecepatan peluru, aku hanya tahu perasaanku menjadi rawan. Memasuki daerah itu bola-bola salju berhamburan dan pecah di jendela. Semua itu mestinya tidak mungkin terjadi, tapi aku tidak pernah tahu apa yang telah dan akan terjadi. Betapa sedikit yang bisa kita ketahui dalam hidup yang begitu singkat.
Namun di Kyoto aku mengenal seorang perempuan.
Sayang sekali, aku tidak bisa menceritakan apapun tentang perempuan itu.
Durban – Cape Town, Maret 2002.

Keroncong Pembunuhan (SGA)

hampir malam di Yogya
ketika keretaku tiba

Lagu keroncong membuatku ngantuk, padahal malam ini aku harus membunuh seseorang. Orang-orang tua memang menyukai lagu keroncong, ini membuat mereka terkenang-kenang akan masa lalunya.
Mereka terserak di bawah sana, di sekitar kolam renang, tapi tampaknya tak banyak yang mendengarkan lagu keroncong itu dengan sungguh-sungguh. Mereka bercakap sendiri, riuh dan tawa sesekali pecah dari tiap kerumunan.
Tak semuanya tua memang, bahkan banyak wanita muda. Paling tidak itulah yang menarik perhatianku. Lewat teleskop pada senapan ini, aku memperhatikan mereka satu per satu, seolah-olah aku berada di antara mereka. Sebuah pesta yang meriah. Ada kambing-guling. Hmmm…

Garis silang pada teleskop itu terus saja bergerak. Sesekali berhenti pada dahi seseorang, dan mengikutinya. Kalau kutekankan telunjukku, tak pelak lagi dahi itu akan berlubang. Dan tubuh orang itu akan roboh. Bisa roboh perlahan-lahan seperti pohon ditebang, bisa pula tersentak dan mengacaukan kerumunan orang yang sedang tertawa-tawa itu, menumpahkan gelas pada nampang yang dibawa pelayan. Tentu lebih menarik lagi kalau tubuh itu terpental ke kolam renang dengan suara bergedebur sehingga airnya muncrat membasahi pakaian para tamu dan kolam renang itu segera berwarna merah karena darah dan wanita-wanita berteriak: “Auuww!”


Tapi aku belum menemukan orang yang mesti kubunuh. Memang belum waktunya. Ia akan datang sebentar lagi. Dan sebetulnya aku pun tak perlu terlalu repot mencarinya karena pesawat komunikasi yang terpasang pada telingaku siap menunjukkan orangnya.
“Kamu sudah siap?” terdengar suara pada headphone itu, sebuah suara yang merdu.
“Dari tadi aku sudah siap, yang mana orangnya?”
“Sabar dong, sebentar lagi.”
Dari teras lantai 7 hotel ini, aku masih mengintip lewat teleskop. Angin laut yang basah terasa asin di bibirku. Iseng-iseng sambil menunggu sasaran, aku mencari orang yang berbicara padaku. Dan aku melihat wajah-wajah pada teleskop. Para wanita dengan pakaian malam yang anggun. Ada yang punggungnya terbuka. Cantik sekali. Aku tak mengira seorang wanita akan terlibat dalam pembunuhan seperti ini.
“Siapa sasaranku?” tanyaku minggu lalu, ketika dia memesan penembakan ini. Dilakukan lewat telepon seperti itu, tentu wajahnya hanya bisa kukira-kira saja.
“Kau tidak perlu tahu, ini bagian dari kontrak kita.”
Kontrak semacam ini memang sering terjadi. Aku dibayar untuk menembak, siapa yang jadi sasaran bukan urusanku.

“Tapi satu hal kau boleh tahu.”
“Apa?”
“Orang itu pengkhianat.”
“Pengkhianat?”
“Ya, pengkhianat bangsa dan negara.”
Jadi, sasaranku adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara. Apakah aku termasuk pahlawan jika menembaknya? Kugerakkan lagi senapanku. Dari balik teleskop kuteliti orang-orang yang makin banyak saja berdatangan. Ada sesuatu yang terasa kurang enak setiap kali aku menatap wajah orang-orang di bawah itu.
Memang wajah mereka adalah wajah orang baik-baik, tapi entahlah apa yang kurang enak di sana. Apakah karena banyak yang memakai baju resmi, seragam yang kubenci? Ataukah karena perasaanku saja. Namun sungguh mati, aku akan sangat berbahagia kalau korbanku kali ini adalah seseorang yang memuakkan.
Kuedarkan lagi senapanku. Mengintip kelakuan orang tanpa diketahui rasanya menyenangkan.
sepasang mata bola
dari balik jendela
Belum habis juga lagu keroncong itu. Rasanya lama sekali. Seperti juga orang-orang di bawah sana, aku tak perlu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang. Di manakah wanita yang bersuara lembut itu?

Di mana-mana orang mengunyah makanan, menyeruput minuman, tersenyum dan tertawa. Ada ibu-ibu berdiri dengan kaku di samping suaminya yang sibuk bicara dengan tangan bergerak-gerak ke segala penjuru. Bapak-bapak yang dari wajahnya tampak berjiwa pegawai, menyembunyikan diri dengan sopan, tapi makan banyak-banyak. Tampak pula petugas berpakaian preman mondar-mandir membawa walkie-talkie. Agaknya pesta kambing-guling pada tepi kolam renang dalam sebuah hotel di tepi pantai ini dihadiri orang-orang penting.
Malam cerah dan langit penuh bintang. Bahkan bulan pun sedang purnama. Kuletakkan senapanku karena pegal. Aku berjalan ke dalam kamar, mengambil kacang dari meja. Kupasang televisi, tapi segera kumatikan lagi. Acara televisi selalu buruk. Sunyi sekali rasanya kamar hotel ini. Aku ingin buru-buru menembak sasaranku, lantas pulang dan minum segelas bir.
“Hei, kamu masih di situ?” tiba-tiba terdengar lagi suara itu.
“Ya, kenapa?”
“Jangan main-main! Aku tahu kamu tidak di tempat!”
Aku bergegas kembali ke teras.
“Bagaimana? Sudah datang orangnya?”
“Dia memakai baju batik merah, kebetulan satu-satunya yang merah di sini, jadi enak untuk kamu.”

Kulihat ke bawah, mereka seperti kerumunan makhluk-makhluk kecil, tentu tak terlalu jelas mana yang berbaju batik merah dari lantai 7 seperti ini. Kuangkat kembali senapanku. Kucari posisi yang enak. Sambil mengunyah kacang aku mengintip kembali lewat teleskop. Garis silang itu kembali beredar dari wajah ke wajah. Mereka masih tertawa-tawa dan tersenyum-senyum. Aku juga tersenyum. Sebentar lagi wajahmu akan ketakutan tanpa tahu malu. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku hanya bekerja berdasarkan kontrak.
“Di sebelah mana dia?” tanyaku lewat mike yang tergantung di bawah daguku.
“Dia di sudut kolam renang sebelah selatan, dekat payung hijau.”
Kugeserkan senapanku ke kanan. Kulewati lagi wajah-wajah berlemak, klimis, dan gemerlapan. Wanita-wanita cantik terpaksa kulewati begitu saja. Dan, nah, itu dia, seorang lelaki yang mamakai baju batik berwarna merah.
Wajahnya tampan dan berwibawa. Ia sudah setengah umur tapi tak tampak telah uzur. Rambutnya disisr rapi ke belakang. Ia tak banyak tertawa dan tersenyum. Orang-orang mengerumuninya dengan hormat. Ada juga yang berwajah menjilat. Garis silang pada teleskopku berhenti tepat di antara kedua matanya.

“Apakah harus kulakukan sekarang?”
“Nanti dulu, tunggu komando!”
Dan aku mengamati wajah itu. Adakah ia mempunyai firasat? Dari balik teleskop ini, wajah-wajah memunculkan pesonanya sendiri, yang berbeda dibanding dengan bila kita berhadapan langsung dengan orangnya. Ia tak banyak bicara, namun tampaknya ia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan aku merasa bahwa ia sangat hati-hati menjawab. Wajahnya menunjukkan niat bersopan santun yang tidak menyebalkan. Apakah yang akan terjadi kalau ia kutembak mati? Aku teringat kematian Ninoy di Filipina….
Tapi aku tidak tahu politik. Jadi, sambil menatap wajah yang akan berlubang itu, aku berpikir tentang yang lain. Mungkin ia punya istri, punya anak. Bahkan kupikir ia pun pantas punya cucu. Mereka akan bertangisan setelah mendengar kematian orang ini, dan tangis itu akan makin menjadi-jadi ketika mengetahui cara kematiannya. Biar saja. Bukankah ia seorang pengkhianat bangsa dan negara? Ia pantas mendapatkan hukumannya.
Agak tegang juga aku menunggu perintah menembak. Itulah repotnya selalu bekerja berdasarkan kontrak. Tidak bisa seenaknya sendiri. Aku dibayar untuk mengarahkan garis silang teleskop senapanku pada tempat yang paling mematikan, untuk kemudian menekan pelatuknya. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak membunuh orang, aku hanya membidik dan menekan pelatuk.

Kutatap lagi wajah itu, rasanya begitu dekat, bahkan pori-porinya terlihat dengan jelas. Aku bagaikan menatap bayang-bayang takdir. Siapakah sebenarnya yang menghentikan kehidupan orang itu, akukah atau Kamu? Orang itu tak sadar sama sekali kalau malaikan maut telah mengelus-elus tengkuknya.
“Bagaimana? Sekarang?”
“Aku bilang tunggu perintah!”
Sialan cewek itu, berani benar membentak-bentak seorang pembunuh bayaran. Tanganku tiba-tiba bergerak sendiri menggeser senapan itu. Dengan indra keenam ia kucari di antara kerumunan orang banyak. Wajah-wajah cantik silih berganti mengisi teleskopku. Aku harus memancing dia bicara.
“Tunggu perintah apa lagi?”
“Kau tak perlu tahu, pokoknya tunggu!”
“Ini tidak ada dalam perjanjian.”
“Ada! Kamu jangan main gila.”
selendang sutra
tanda mata darimu

Busyet! Lagu keroncong itu lagi, jelas sekali di telingaku. Pasti ia berada di dekat orkes. Kucari-cari sekitar orkes. Teleskopku sempat mampir di dada penyanyi keroncong yang membusung itu. Ada beberapa kerumunan. Di telingaku juga berdentang bunyi gelas dan piring. Ia mungkin di belakang orkes, dekat meja prasmanan. Ada beberapa wanita, dan petugas-petugas berpakaian preman. Yang mana? Aku meneliti mereka satu per satu. Beberapa di antaranya jelas cuma pegawai perusahaan catering. Ada satu wanita bertampang juragan. Mungkin satunya lagi. Rambutnya lurus dan hitam dengan poni menutup dahinya. Matanya menatap tajam ke arah si baju batik merah!
“Tembaklah dia sekarang,” ujarnya pelan dalam headphone-ku, dan kulihat dari teleskop dia memang berkata-kata sendiri. Rupanya betul dia. Ia mendengar lewat giwang dan berbicara padaku lewat mikrofon yang tersembunyi dalam leontin kalungnya. Leontin yang indah, terpajang di dadanya yang tipis.
“Apa?” tanyaku lagi, karena ingin meyakinkan, memang dia orangnya.
“Tembak sekarang!”
Jadi seperti inilah semua pembunuhan itu berlangsung. Mata rantai tanpa ujung dan pangkal. Wanita ini tentu hanya salah satu mata rantai. Kualihkan senapanku kembali pada sasaran. Lelaki setengah tua itu sedang mendengarkan cerita seseorang di hadapannya dengan sabar. Orang yang bercerita itu tampak berapi-api, namun lelaki itu kelihatannya menahan diri untuk tidak ikut terbakar. Ia mengangguk-angguk sambil mencuri pandang ke sekelilingnya. Seperti khawatir ada yang mendengar.

Aku sudah siap menembak. Satu tekanan telunjuk akan mengakhiri riwayat lelaki itu. Garis silang pada teleskop kugeser agak ke samping, supaya lubang peluru pada kepalanya tidak membuat pembagian yang terlalu simetris. Peluruku akan menembus mata kirinya. Dan aku menatap mata orang itu. Astaga. Benarkah dia seorang pengkhianat?
“Kau tidak keliru? Benarkah ia seorang pengkhianat?”
“Tidak usah tanya-tanya, tembak sekarang!” Aku menatap lagi matanya, pengkhianat yang bagaimana?
“Pengkhianat yang bagaimana? Kenapa tidak diadili saja?”
“Apa urusanmu tolol? Tembak dia sekarang, atau kontrak kubatalkan!”
Perasaan aneh tiba-tiba merasuki diriku. Aku malah mengarahkan senapan pada wanita itu.
“Laras senapanku mengarah padamu manis,” kataku dingin.
“Apa-apaan ini?” Dalam teleskop kulihat wajahnya mendongak ke arahku dengan kaget.
“Katakan padaku,” kataku lagi, “apa kesalahan orang itu?”
“Tembak dia sekarang tolol, atau kamu akan mati!”
“Justru kamu yang bisa segera mati.”
“Omong kosong! Kamu tak tahu di mana aku.”

“Kamu memakai cheongsam dengan belahan di paha, kamu ada di belakang orkes.” Dan kulihat wajahnya menjadi pucat.
“Kamu sudah melanggar kontrak.”
“Aku tidak mau menembak orang yang tidak bersalah.”
“Itu bukan urusanmu, tahun lalu kamu menembak ribuan orang yang tidak bersalah.”
“Itu urusanku sendiri, katakan cepat apa kesalahan orang itu!”
Wanita itu tampak beranjak akan lari.
“Jangan lari, tak ada gunanya, tak ada seorang pun yang akan tahu siapa menembakmu. Senapan ini dilengkapi peredam. Kamu tahu tembakanku belum pernah luput, dan aku bisa segera lenyap.”
Wajahnya menatap ke atas, ke arahku. Kulihat ia berkeringat dingin. Gelisah.
“Apa maumu?”
“Katakan kesalahannya.”
“Ia pengkhianat, ia menjelek-jelekkan nama bangsa dan negara kita di luar negeri.”

“Cuma itu?”
“Ia meresahkan masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang tidak benar.”
“Lantas?”
“Kamu mau apa? Aku tidak tahu banyak.”
“Aku ingin tahu, apakah semua itu merupakan alasan yang cukup untuk membunuhnya.”
“Itu bukan urusanmu. Ini politik.”
“Urusanku adalah leontinmu manis, ia bisa pecah berantakan oleh peluruku, dan peluru itu tak akan berhenti di situ.”
Wajah itu kembali menatap ke arahku dengan pandang menghiba.
“Jangan tembak aku! Aku tidak tahu apa-apa!”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Aku tidak tahu apa-apa.”
“Leontinmu manis…”
“Ah, jangan, jangan tembak! Please…”
“Siapa?”
“Aku…aku bisa celaka.”
“Sekarang pun kamu bisa celaka. Kuhitung sampai tiga. Satu…”
“Kamu gila, kamu merusak segala-galanya.”
“Dua….” Hmm, alangkah gugupnya dia.
“Ia ada di depan orang yang harus kamu tembak.”
“Berkacamata?”
“Ya.”

Kuarahkan senapanku ke sana. Dan aku melihat orang itu. Ia sedang bercerita dengan berapi-api. Tangannya bergerak kian kemari, mengepal dan memukul-mukulkan tinjunya pada telapak tangan yang lain. Wajahnya licik dan penuh tipu daya. Sangat memuakkan. Padahal ia pun sudah tua.
Kubidikkan garis silang teleskopku ke jantungnya, sementara di telingaku mengiang suara penyanyi itu, yang memulai lagi sebuah lagu keroncong, lagu kesenangan orang-orang tua. Ini memang akan membuat mereka terkenang-kenang akan masa lalunya.
Inilah keroncong fantasiii